HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN DUKUNGAN
KELUARGA TERHADAP KEPATUHAN MINUM OBAT PADA PASIEN SKIZOFRENIA DIPOLIKLINIK
PSIKIATRI RSUD KARAWANG
Abstrak
viii + 68 halaman + 8 Lampiran + 5 tabel
Skizofren adalah penyakit yang mempengaruhi otak dan penyebab
timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan, dan perilaku yang aneh dan
terganggu. Skizofrenia diduga sebagai suatu sindrom atau proses penyakit yang
mencakup banyak jenis dan gejala. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
hubungan pengetahuan dan dukungan keluarga terhadap kepatuhan minum obat pasien
skizofrenia di RSUD Karawang, dengan menggunakan desain deskriptif analitik
pendekatan cross sectional. Instrumen
dibuat dalam bentuk kuesioner yaitu bagian untuk mengukur pengetahuan keluarga
dan dukungan keluarga tentang pengobatan pasien skizofrenia. Jumlah sampel 39
orang dengan menggunakan proposive sampling sebagai teknik pengambilan data.
Hasil penelitian menggambarkan 43,5% pengetahuan yang tidak baik. Analisa
statistik Chi-Square dengan derajat
kebebasan α=0,05 diperoleh nilai pvalue=
0,000 hubungan yang signifikan antara pengetahuan dan kepatuhan minum obat.
Hubungan antara dukungan keluarga terhadap kepatuhan minum obat didapatkan p value 0,378>(0,05), berarti Ho gagal ditolak dapat
disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara dukungan keluarga dangan kepatuhan
minum obat di RSUD Karawang. Saran untuk praktek keperawatan diharapkan dapat
melakukan supervisi dan monitoring terkait penerapan pemberdayaan keluarga
dalam pemberian asuhan keperawatan pada keluarga.
Kata kunci: pengetahuan, dukungan,
kepatuhan, skizofrenia
Daftar pustaka: 15. tahun 2004-2013
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Sehat dalam suatu rentang adalah tingkat sejahtera klien pada waktu
tertentu, yang terdapat dalam rentang dari kondisi sejahtera yang optimal,
dengan energi yang maksimum, sampai kondisi kematian, yang menandakan habisnya
energi total (Neuman,1990 dalam Potter and Ferry,2005).
Kesehatan jiwa dan gangguan
jiwa sering kali sulit didefinisikan, orang dianggap sehat jika mereka mampu
memainkan peran dalam masyarakat dan prilaku mereka pantas dan adaptif.
Sebaliknya, seseorang dianggap sakit jika gagal memainkan peran dan memikul
tanggung jawab atau perilakunya tidak pantas. Kebudayaan setiap masyarakat sangat
mempengaruhi definisi sehat dan sakit (Videbeck,2008). Dengan demikian
kesehatan jiwa seseorang merupakan suatu keadaan yang dinamik atau selalu
berubah, Melalui proses interaksi yang konstan diantara faktor-faktor yang
berkontribusi,
Menurut World Health Organization, 2001 dalam Yosep, 2008, masalah gangguan
kesehatan jiwa diseluruh dunia memang
sudah menjadi masalah yang sangat serius, paling tidak ada satu dari empat
orang didunia mengalami gangguan mental. WHO memperkirakan ada sekitar 450 juta
orang didunia mengalami gangguan kesehatan
jiwa. Dalam Riskesdas 2013 prevalensi penderita gangguan jiwa berat 1,7/1000
orang. Dalam data Riskesdas 2013, terdapat 14,3 persena penderita gangguan jiwa
di indonesia dengan penderita terbanyak dipedesaan dibanding diperkotaan,
sedangkan prevalensi gangguan mental emosional diatas umur 15 tahun rata-rata
6,0 persen.
Skizofrenia adalah penyakit
yang mempengaruhi otak dan penyebab timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan
dan prilaku yang aneh dan terganggu. Skizofrenia tidak dapat didefinisikan
sebagai penyakit tersendiri, melainkan diduga sebagai suatu sindrom atau proses
penyakit yang mencakup banyak jenis dengan berbagai gejala (Videbeck,2008).
Klien skizofrenia tidak lagi
dihospitalisasi untuk periode waku yang lama, tetapi kembali hidup dimasyarakat dengan dukungan
yang diberikan oleh keluarga dan layanan pendukung. Klien dapat hidup bersama
anggota keluarga, secara mandiri, atau dengan program residential seperti group
home tempat mereka menerima layanan yang dibutuhkan tanpa perlu dimasukan
ke rumah sakit. Program Assertive
Community Treatment (ACT), terbukti berhasil dalam mengurangi angka klien
masuk rumah sakit melalui penatalaksanaan gejala dan pengobatan, membantu klien
memenuhi kebutuhan sosial, rekreasional, dan vokasional, serta memberi dukungan
kepada klien dan keluarga mereka (McGrew, Wilson & Bond,1996 dalam
Videbeck,2008).
Keluarga merupakan faktor
yang sangat penting dalam proses kesembuhan pasien skizofrenia. Keluarga
merupakan lingkungan terdekat
pasien, dengan keluarga yang bersikap
teurapeutik dan mendukung pasien, masa kesembuhan pasien dapat dipertahankan
selama mungkin. Sebaliknya, jika keluarga kurang mendukung, angka kekambuhan
akan lebih cepat. Berdasarkan penelitian bahwa angka kekambuhan pada pasien
gangguan jiwa tanpa terapi keluarga sebesar 25-50%, sedangkan angka kambuh pada
pasien yang mendapatkan terapi keluarga adalah sebesar 5-10% (Keliat,2009).
Kontuinitas pengobatan dalam
penatalaksanaan skizofrenia merupakan salah satu faktor keberhasilan terapi.
Pasien yang tidak patuh dalam pengobatan akan memilki resiko kekambuhan lebih
tinggi di bandingkan dengan pasien yang patuh dalam pengobatan. Ketidakpatuhan
berobat ini yang merupakan alasan kembali dirawat dirumah sakit. Pasien yang
kambuh membutuhkan waktu yang lebih lama dan dengan kekambuhan yang berulang,
kondisi pasien bisa semakin memburuk dan sulit untuk dikembalikan ke keadaan
semula. Pengobatan skizofrenia ini harus dilakukan terus menerus sehingga
pasien nantinya dapat dicegah dari kekambuhan penyakit dan dapat mengembalikan
fungsi untuk produktif serta akhirnya dapat meningkatkan kualitas hidup (Yuliantika
dkk,2012).
Hasil penelitian Sri
Wulansih, tahun 2008, keluarga bersikap
baik yaitu 25% atau 50 % memperlihatkan bahwa keluarga dengan ekspresi emosi
yang tinggi (bermusuhan, mengkritik) diperkirakan kambuh dalam waktu 9 bulan,
57 % kembali di rawat. Adanya hubungan yang signifikan antara sikap keluarga
dengan kekambuhan pasien skizofren. Pada tingkat pengetahuan keluarga didapat
hasil nilai rasio pravelens sebesar 4, apabila rasio prevalens > 1 dan
rentang interval kepercayaan tidak mencakup angka 1, berarti variabel tersebut
merupakan faktor resiko terjadinya sesuatu hal. Hal ini menunjukkan bahwa
pengetahuan pasien yang berkontribusi terhadap kekambuhan pasien skizofrenia.
Sejalan dengan penelitian,
Natalia P dkk, tahun 2013, menjelaskan bahwa ada 56,4 % responden memiliki pengetahuan
yang baik mengenai pengobatan pasien skizofrenia, 43,5 % responden memiliki
pengetahuan sedang mengenai pengobatan pasien skizofrenia, 84,6 % responden
patuh dalam menjalankan pengobatan dan sebanyak 15,4 % tidak patuh dalam
pengobatan. Disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara tingkat
pengetahuan dengan kepatuhan minum obat pasien skizofrenia.
Jumlah kunjungan pasien
gangguan jiwa ke Polikinik Psikiatri
RSUD Karawang pada tahun 2012 berjumlah 1865 yang terdiri dari kunjungan baru
613, kunjungan lama 1252. Sedangkan pada
tahun 2103, jumlah kunjungan 1979, kunjungan baru sebanyak 394 orang dan kunjungan lama 1585, dengan
skizoprenia berbagai tipe gangguan. sedangkan pada tahun 2014 pada bulan januari
jumlah kunjungan sebanyak 161. Berdasarkan catatan medrek RSUD Karawang
terdapat kenaikan kunjungan 6,1% pada tahun 2012-2013 pada Poliklinik Psikiatri
RSUD Karawang, hal ini memungkinkan terjadinya ketidakpatuhan minum obat karena
kurangnya pengetahuan keluarga tentang cara pemberian obat yang tidak sesuai
dengan intruksi dokter serta pemberhentian atau mengurangi dosis obat oleh
kelurga dan pasien itu tersebut.
Berdasarkan hasil studi
pendahuluan di Poliklinik Psikiatri RSUD Karawang pada november 2013, tiga dari
sepuluh penderita skizofrenia, pernah
mengalami kekambuhan. Kekambuhan yang terjadi dari beberapa pemicu salah
satunya disebabkan karena ketidakpatuhan pasien minum obat atau karena dukungan
keluarga terhadap anggota keluarga yang sakit, dan mengalami putus obat .
Berdasarkan latar belakang diatas,
maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Hubungan Pengetahuan dan Dukugan Keluarga Terhadap Kepatuhan Minum
Obat Pada Pasien Skizofrenia di Poliklinik Psikiatri RSUD Karawang.
B.
Tujuan Penelitian
1.
Tujuan Umum
Mengetahui hubungan pengetahuan keluarga dan dukungan keluarga
terhadap kepatuhan minum obat pada
pasien skizofrenia dipoliklinik jiwa RSUD Karawang.
2.
Tujuan Khusus
a. Mendeskripsikan pengetahuan keluarga tentang kepatuhan minum obat
pada pasien skizofrenia.
b. Mendeskripsikan dukungan keluarga terhadap kepatuhan minum obat
pada pasien skizofrenia.
c. Teridentifikasinya hubungan pengetahuan keluarga dengan kepatuhan
minum obat pada pasien skizofrenia.
d. Teridentifikasinya hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan
minum obat pada pasien skizofrenia.
C.
Rumusan Masalah
Hasil penelitian Sri Wulansih, tahun 2008, keluarga bersikap baik yaitu 25 atau 50 %
memperlihatkan bahwa keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi (bermusuhan,
mengkritik) diperkirakan kambuh dalam waktu 9 bulan, 57 % kembali di rawat.
Adanya hubungan yang signifikan antara sikap keluarga dengan kekambuhan pasien
skizofren. Pada tingkat pengetahuan keluarga didapat hasil nilai rasio
pravelens sebesar 4, apabila rasio prevalens > 1 dan rentang interval
kepercayaan tidak mencakup angka 1, berarti variabel tersebut merupakan faktor
resiko terjadinya sesuatu hal. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan memang
benar-benar faktor resiko yang menyebabkan kekambuhan pasien skizofrenia.
Dari fenomena diatas, maka
penulis mencoba menggali untuk mengetahui keterkaitan hubungan pengetahuan
keluarga dengan perilaku kepatuhan minum obat pada pasien skizofrenia di
Poliklinik Psikiatri RSUD Karawang, dengan pertanyaan penelitian :
1.
Adakah hubungan tingkat pengetahuan
keluarga terhadap kepatuhan minum obat pada pasien skizofrenia?
2. Adakah hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan minum obat pada pasien skizofrenia?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada
bab ini akan dijelaskan berbagai teori terkait konsep pengetahuan, keluarga,
kepatuhan minum obat dan konsep gangguan jiwa dan pendidikan kesehatan jiwa.
A. Konsep Pengetahuan
Kamus Besar Bahasa Indonsia, 2002
menyebutkan bahwa pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui, kepandaian
dan segala sesuatu yang diketahui berdasarkan dengan hal (mata pelajaran).
Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan terjadi setelah orang melakukan
pengindraan terhadap objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indra
manusia yaitu indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba.
Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga
(Notoatmodjo,2003). Maka pengetahuan merupakan suatu informasi atau fakta yang
diperoleh dari proses belajar dan pengalaman. Dengan memiliki pengetahuan
seseorang dapat bertindak atau menyelesaikan masalah yang dihadapinya.
Bloom (1956)
dalam Potter dan Perry (2006) mengkatagorikan pengetahuan menjadi 3 damain,
yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor.
Pengetahuan kognitif terkait dengan pemahaman seseorang setelah mengenai
sesuatu hal. Pengetahuan afektif terkait dengan prilaku seseorang setelah
memahami sesuatu, sedangkan psikomotor terkait dengan pelaksanaan atas apa yang
telah dipahami. Setiap individu berbeda dalam proses menginteranalisakan suatu
informasi, inilah yang menyebabkan tingkat pengetahuan seseorang berbeda-beda.
Interaksi antara ketiga doamain tersebut akan mempengaruhi proses belajar yang
optimal.
Pengetahuan
membuat seseorang yang pada awalnya tidak tahu menjadi tahu memiliki proses
atau tingkatan-tingkatan. Tingkatan pengetahuan dalam domain kognitif yang
dikemukakan Notoatmodjo,2003 ada 6 macam yaitu:
1. Mengetahui
(Knowledge)
Pada tingkat ini seseorang mampu
mengingat kemabali materi yang telah dipelajari sebelumnya termasuk hal-hal
yang spesifik dari seluruh yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.
Oleh karena itu tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata
kerja untuk mengukur bahwa seseorang tahu tentang apa yang dipelajari antara
lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, dan menyatakan.
2. Memahami
(comprehension)
Pada tingkat ini seseorang mampu
menjelaskan tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasukan materi
tersebut dengan benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus
dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan objek yang dipelajarinya.
3. Mengaplikasikan
(Aplication)
Pada tahap ini seseorang mampu
menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang nyata.
Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus,
metode dalam konteks atau situasi yang lain.
4. Menganalisis
(Analysis)
Pada tahapan ini seseorang mampu
menjabarkan materi suatu objek kedalam komponen-komponen yang saling berkaitan
dalam situasi yang terorganisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain.
Kemampuan analisis ini dapat dilihat dalam penggunaan kata kerja, seperti dapat
menggambarkan, membedakan, dan memisahkan.
5. Mensintesis
(Syntesis)
Sintesis menunjukan kepada suatu
kemampuan untuk meletakan atau menghubungkan bagia-bagian dalam suatu bnetuk
keseluruhan yang baru. Dengan kata lain
sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari
formulasi-formulasi yang ada.
6. Mengevaluasi
(evaluasi)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan
untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu abjek atau materi.
Penilaian-penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri
atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.
Pengetahuan merupakan dasar dari domian-domain
selanjutnya. Jadi pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat
penting untuk terbentuknya tindakan atau prilaku seseorang. Faktor-faktor yang
mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang (Notoatmodjo,2003):
1.
Pendidikan
Pendidikan merupakan suatu usaha untuk
mengembangkan kepribadian dan kemampuan didalam dan diluar sekolah dan
berlangsung seumur hidup. Pendidikan mempengaruhi proses belajar, semakin
tinggi pendidikan seseorang makin mudah orang tersebut menerima informasi.
Dengan pendidikan tinggi maka seseorang cendrung untuk mendapatkan informasi,
baik dari orang lain maupun dari media masa. Pengetahuan sangat erat kaitannya
dengan pendidikan, dengan pendidikan tinggi, diharapkan akan semakin luas pula
pengetahuannya.
2.
Informasi
Informasi
yang didapatkan baik dari pendidikan formal dan informal dapat memberikan
pengaruh jangka pendek (Immediate impact)
sehingga menghasilkan perubahan atau peningkatan pengetahuan. Majunya
teknologi berimbas pada banyaknya media masa yang dapat mempengaruhi
pengetahuan masyarakat tentang inovasi. Sebagai sarana komunikasi, berbagai
bentuk media masa seperti televisi,
radio, surat kabar, dan lain-lain mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan
opini dan kepercayaan orang.
3.
Sosial budaya dan ekonomi
Budaya yang dianut seseorang
mempengaruhi pengetahuan. Kebiasaan dan tradisi
yang dilakukan orang-orang seringkali tanpa melalui penalaran apakah yang
dilakukan baik atau buruk. Dengan demikian seseorang akan bertambah
pengetahuannya walaupun tidak melakukan. Status ekonomi seseorang juga akan
menentukan tersedianya suatu fasilitas yang diperlakukan untuk kegiatan
tertentu, sehingga status sosial ekonomi ini akan mempengaruhi pengetahuan
seseorang.
4.
Lingkungan
Lingkungan adalah segala sesuatu yang
ada disekitar individu, baik fisik, biologis, maupun sosial. Lingkungan
berpengaruh terhadap proses masuknya pengetahuan kedalam individu yang berada
dalam lingkungan tersebut. Hal ini terjadi karena adanya interaksi timbal balik
ataupun tidak akan direspon sebagai pengetahuan oleh setiap individu.
5.
Pengalaman
Pengalaman sebagai sumber pengalaman
adalah suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang
kembali pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan masalah yang dihadapi
dimasa lalu. Pengalaman dapat diperoleh dari diri sendiri maupun orang lain.
Pengalaman yang dapat diperoleh dapat peningkatan pengetahuan seseorang.
Pengalaman seringnya anggota keluarga dirawat menjadikan keluarga sering
menerima informasi sehingga dapat menambah pengetahuan mereka.
6.
Usia
Usia mempengaruhi terhadap daya tangkap
dan pola fikir seseorang. Semakin bertambah usia akan semakin berkembang pula
daya tangkap dan pola fikirnya, sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin
membaik. Semakin banyak informasi yang dijumpai dan semakin banyak hal yang
dikerjakan sehingga menambah pengetahuannya.
B. Konsep Keluarga
1.
Keluarga
Keluarga
didefinisikan sebagai dua atau lebih dari dua individu yang tergabung karena
hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan dan mereka hidup dalam
suatu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain, dan dilam perannya
masing-masing menciptakan dan mempertahankan kebudayaan (Bailon & Maglaya, 1978
dalam Effendy, 2007). Keluarga dalam pengertian lain adalah sekumpulan orang
dengan ikatan perkawinan, kelahiran atau adopsi yang bertujuan untuk
menciptakan, mempertahankan budaya, dan meningkatkan perkembangan fisik,
mental, serta emosional dari tiap keluarga. Secara dinamis individu yang
membentuk sebuah keluarga dapat digambarkan sebagai anggota dari kelompok
masyarakat yang paling dasar, tinggal bersama, saling berinteraksi untuk
memenuhi kebutuhan antar individu (Duval
& Logan, 1986 dalam Friedman, 2010).
Menurut Friedman, 2010, terdapat lima fungsi
keluarga yang saling berkaitan satu sama lain, yaitu (1) Fungsi afektif,
keluarga harus memenuhi kebutuhan kasih sayang dari tiap anggota keluarga; (2)
Fungsi sosialisasi, fungsi ini mengantar anggota keluarga menjadi anggota masyarakat
yang produktif; (3) Fungsi reproduktif, untuk menjamin kontuinitas antar
generasi keluarga dan masyarakat yaitu menyediakan anggota baru untuk
masyarakat (Leslie & Korman,1989 dalam Friedman,2010) (4) Fungsi ekonomi,
meliputi tersedianya sumber-sumber dari keluarga secara cukup finansial, uang
gerak dan materi, dan pengalokasian sumber-sumber tersebut yang sesuai melalui
proses pengambilan keputusan (Friedman,2010); (5) Fungsi perawatan kesehatan,
praktik-praktik sehat yang mempengaruhi status kesehatan anggota keluarga
secara individual merupakan bagian yang paling relevan dari fungsi keluarga
bagi perawatan keluarga.
Keluarga merupakan faktor yang
sangat penting dalam proses kesembuhan
pasien gangguan jiwa. Dengan keluarga yang bersikap terapeutik dan mendukung
pasien, masa kesembuhan pasien dapat dipertahankan selama mungkin. Sebaliknya,
jika keluraga kurang mendukung, angka kekambuhan menjadi cepat. Berdasarkan
penelitian, ditemukan bahwa angka kambuh pada pasien gangguan jiwa tanpa therapi
keluarga sebesar 25-50%, sedangkan angka kambuh pada pasien yang mendapat
terapi keluarga adalah sebesar 5-105 (Keliat, 2010).
Pendidikan kesehatan keluarga
diharapakan dapat menjadi sarana peberdayaan kelurga, baik ketika pasien masih
dirawat dirumah sakit maupun setelah pulang kerumah. Pendidikan kesehatan
individu keluarga adalah pendidikana kesehatan yang diberikan kepada keluarga
pasien. Pendidikan kesehatan keluarga jenis ini merupakan bagian dari asuhan
keperawatan pasien (anggota keluarga yang sedang dirawat). Materi pendidikan
ini adalah cara mengatasi masalah keperawatan yang dialami oleh pasien yang
dapat dilakukan oleh keluarga, baik dirumah sakit maupun dirumah.
Menurut Keliat, 1996 pentingnya peran
serta keluarga dalam perawatan gangguan jiwa sangat besar maknanya, karena:
a.
Keluarga adalah tempat klien belajar dan
mengembangkan berbagai perilaku.
b.
Keluarga merupakan lingkungan yang
dikenal klien.
c.
Keluarga merupakan sistem pendukung
utama yang merawat klien.
d.
Program pendidikan klien dan keluarga mengurangi
angka kekambuhan.
e.
Perawatan paripurna menyangkut pasien
dan sisitem yang terkait (keluarga dan masyarakat)
Selain itu pengetahuan pasien yang
harus dimiliki keluarga dalam pengobatan pasien gangguan jiwa adalah sebagai
berikut (Siregar,2005)
a.
Terapi Multi Obat
Pada
umumnya, makin banyak jenis dan jumlah obat yang digunakan pasien, semakin
tinggi resiko ketidakpatuhan. Bahkan, apabila intruksi dosis tertentu untuk
obat telah diberikan, masalah masih dapat terjadi. Kesamaan penampilan
misalnya: kesamaan ukuran, warna, dan bentuk obat-obat tertentu dapat
berkontribusi pada kebingungan yang dapat terjadi dalam penggunaan multi obat.
b.
Frekuensi Pemberian
Pemberian
obat pada jangka waktu yang sering
membuat ketidak patuhan lebih mungkin karena jadwal rutin normal atau
jadwal kerja pasien akan terganggu untuk pengambilan satu dosis obat dan dalam
banyak kasus pasien akan lupa, tidak ingin susah atau malu berbuat demikian.
c.
Durasi dan Terapi
Berbagai
studi menunjukan bahwa tingkat ketidakpatuhan menjadi lebih besar, apabila
periode pengobatan lama. Suatu resiko yang lebih besar dari ketidak patuhan
perlu diantisipasi dalam pasien yang mempunyai penyakit kronis, terutama jika
penghentian terafi mungkin tidak berhubungan dengan terjadinya kembali segera
atau memburuknya kesakitan. Ketaatan pada pengobatan jangka panjang lebih sulit
dicapai. Walaupun tidak ada intervensi tunggal yang berguna untuk meningkatkan
ketaatan, kombinasi intruksi yang jelas, pemantauan sendiri oleh pasien,
dukungann sosial, petunjuk bila mengguanakan obat, dan diskusi kelompok.
d.
Efek merugikan
Perkembangan
dari efek suatu obat tidak menyenangkan, memungkinkan menghindar dari
kepatuhan, walaupun berbagai studi menyarankan bahwa hal ini tidak merupakan
faktor penting sebagaimana diharapkan. Dalam beberapa situasi adalah mungkin
mengubah dosis atau menggunakan obat alternatif dapat ditiadakan dan manfaat
yang diharapkan dari terafi harus dipertimbangkan terhadap resiko. Penurunan
mutu kehidupan yang diakibatkan efek, seperti mual dan muntah yang hebat,
mungkin begitu penting bagi beberapa individu sehingga mereka tidak patuh
dengan suatu regimen.
1.
Jenis dukungan keluarga
Kaplan
dalam Friedman,2003 menjelaskan bahwa, terdapat empat jenis dukungan yakni;
a.
Dukungan Informasional
Dukungan informasional merupakan dukungan yang
berfungsi sebagai pengumpul informasi tentang segala sesuatu yang digunakan
untuk mengungkapakan suatu masalah. Jenis dukungan ini sangat bermanfaat dalam
menekan munculnya suatu stressor karena informasi yang diberikan dapat
menyumbangkan aksi sugesti yang khusus pada individu. Secara garis besar
terdiri dari aspek nasehat, usulan, petunjuk, dan pemberian informasi.
b.
Dukungan Penilaian.
Menekankan
pada keluarga sebagai umpan balik,
membimbing, dan menangani masalah, serta sebagai sumber dan validator
identitas anggota (Friedman, 2003). Dukungan penilaian dapat dilakukan
diantaranya dengan memberikan support,
pengakuan, penghargaan, dan perhatian pada anggota keluarga.
c.
Dukungan Instrumental
Dukungan
yang memfokuskan keluarga sebagai sebuah sumber pertolongan praktis dan konkrit
berupa bantuan langsung dari orang yang diandalkan seperti materi, tenaga, dan
sarana (Friedman,2003). Manfaat dari dukungan ini adalah mengembalikan energi
atau stamina dan semangat yang menurun dan memberikan rasa perhatian serta
kepedulian pada seseorang yang mengalami kesusahan atau penderitaan.
d.
Dukungan Emosional
Dukungan
yang menempatkan keluarga sebagai tempat aman dan damai untuk istirahat serta
dapat membantu penguasaan terhadap emosi (Friedman, 2003).
2.
Manfaat dukungan keluarga
Menurut
Johnson & Johnson, 1991, ada empat manfaat dukungan sosial dihubungkan
dengan pekerjaan akan menigkat produktivitasnya, meningkatkan kesejahteraan
psikologis dan penyesuaian diri dengan memberikan rasa memilki, memperjelas
identitas diri, menambah harga diri, dan mengurangi stres, meningkatkan dan
memelihara kesehatan fisik, serta pengelolaan terhadap stres dan tekanan.
Menurut
Wills dalam Friedman, 2003 menyatakan bahwa dukungan keluarga dapat menimbulkan
efek penyangga, yaitu dukungan keluarga menahan efek-efek negatif dari stres
terhadap kesehatan dan efek utama, yaitu
dukungan keluarga secara langsung mempengaruhi peningkatan kesehatan. Secara
lebih spesifik, keberadaan dukungan sosial keluarga yang adekuat terbukti
berhubungan dengan menurunnya mortalitas, lebih mudah sembuh dari sakit dan
dikalangan lansia dapat menjaga fungsi kognitif, fisik, dan kesehatan
emosional.
3.
Sumber Dukungan Keluarga
Menurut
Rook dan Dooley dalam Kuncoro, 2002, ada dua sumber dukungan keluarga yaitu
sumber natural dan sumber artifisial. Dukungan keluarga yang natural diterima
seseorang melalui interaksi sosial dalam kehidupannya secara spontan dengan
orang-orang yang berada disekitarnya, misalnya anggota keluarga (anak, istri,
suami, dan kerabat) teman dekat atau relasi. Dukungan keluarga ini bersifat
non-formal. Sementara itu dukungan artifisial adalah dukungan sosial yang
dirancang kedalam kebutuhan primer seseorang. Misalnya dukungan keluarga akibat
bencana alam melalui berbagai sumber sumbangan sosial. Dengan demikian, sumber
dukungan keluarga natural memiliki berbagai perbedaan jika dibandingkan dengan
dukungan keluarga artifisial. Perbedaan tersebut terletak pada keberadaan
sumber dukungan keluarga natural bersifat apa adanya tanpa dibuat-buat sehingga
lebih mudah diperoleh dan bersifat spontan. Sumber dukungan keluarga yang
natural memiliki kesesuaian dengan nama yang berlaku tentang kapan sesuatu
harus diberikan dan berakar dari hubungan yang telah berakar lama.
4.
Faktor-faktor yang mempengaruhi dukungan
keluarga
Menurut
Purnawan dalam Rahayu, 2008, pemberian dukungan oleh keluarga dipengaruhi oleh
faktor internal dan faktor eksternal yang keduanya saling berhubungan.
a.
Faktor internal
Berasal
dari individu itu sendiri yang meliputi:
1.
Faktor tahap perkembangan
Pemahaman
dan respon terhadap perubahan kesehatan yang berbeda-beda pada setiap rentang
usia (bayi sampai lansia).
2.
Faktor pendidikan atau tingkat pengetahuan.
Dalam
hal ini kemampuan kognitif yang membentuk cara berfikir seseorang termasuk
kemampuan untuk memahami faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakit dalam
menjaga kesehatan dirinya
3.
Faktor emosi
Faktor
emosi yang mempengaruhi keyakinan terhadap adanya dukungan dan cara melakukan
sesuatu. Respon emosi yang baik akan memberikan antisifasi penanganan yang baik
terhadap berbagai tanda sakit, namun jika respon emosinya buruk kemungkinan
besar akan terjadi penyangkalan terhadap gejala penyakit yang ada.
b.
Faktor eksternal
Berasal
dari luar individu itu sendiri dan terdiri dari tiga hal, yaitu
1)
Praktik keluarga
Cara
keluarga memberikan dukungan yang mempengaruhi penderita dalam melaksanakan
kesehatannya secara optimal. Tidakan dapat berupa pencegahan yang dicontohkan
keluarga kepada anggota keluarga.
2)
Faktor sosioekonomi
Variabel
faktor sosial dapat meningkatkan resiko terjadinya penyakit, mempengaruhi cara
seseorang mendefinisikan serta bereaksi terhadap penyakitnya. Sementara faktor
ekonomi menjelaskan bahwa semakintinggi ekonomi seseorang biasanya dia akan
lebih cepat tanggap terhadap gejala penyakit yang dirasakan sehingga ia akan
segera mencari pertolongan ketika merasa adanya gangguan kesehatan.
3)
Latar belakang budaya
Faktor
ini akan banyak mempengaruhi keyakinan, nilai, dan kebiasaan individu dalam
memberikan dukungan termasuk cara pelaksanaan kesehatan pribadi.
2.
Konsep
Kepatuhan
Kepatuhan
(complience), juga dikenal sebagai
ketaatan (adherence) adalah derajat
dimana pasien mengikuti anjuran klinis dari dokter yang mengobatinya. Contoh
dari kepatuhan adalah mematuhi perjanjian, mematuhi dan menyelesaikan program
pengobatan, menggunakan medikasi secara tepat, dan mengikuti anjuran perubahan
perilaku atau diet.perilaku kepatuhan tergantg pada situasi klinis tertentu,
sifat penyakit dan program pengobatan (Kaplan & Sadock,2010)
Sackett dalam Niven (2002)
mendefinisikan kepatuhan pasien sebagai “sejauhmana perilaku pasien sesuai
dengan ketentuan yang diberikan oleh professional kesehatan”. Berikut ini faktor
yang mendukung kepatuah pasien, (Feuerstein et al,1986 dalam Niven 2002) juga
mneyampaikan suatu program tindakan yang terdiri dari lima elemen:
1.
Pendidikan
Pendidikan dapat meningkatkan kepatuhan,
sepanjang bahwa pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif seperti
penggunaan buku-buku dan kaset oleh pasien secara mandiri.
2.
Akomodasi
Suatu
usaha harus dilakukan untuk memahami ciri kepribadian pasien yang dapat
mempengaruhi kepatuhan.
3.
Modifikasi faktor lingkungan dan sosial
Hal ini berarti membangun dukungan sosial
dari keluarga dan teman-teman. Kelompok-kelompok pendukung dapat dibentuk untuk
membantu kepatuhan terhadap program-program pengobatan.
4.
Perubahan model terapi
Program-program pengobatan dapat dibuat
sederhana mungkin, dan pasien terlibat aktif dalam pembuatan program tersebut.
Dengan cara ini komponen-komponen yang lebih kompleks.
5.
Meningkatkan interaksi professional
kesehatan dengan pasien.
Merupaksuatu hal penting untuk memberikan
umpan balik pada pasien setelah memperoleh informasi tentang diagnosis. Pasien
membutuhkan penjelasan tentang kondisinya saat ini, apa penyebab dan apa yang
dapat mereka lakukan dengan kondisi seperti ini.
Kepatuhan
terjadi bila aturan pakai obat yang diresepkan serta pemberiannya diikuti
demgan benar. Jika terafi ini akan dilanjutkan setelah pasien pulang, penting
agar pasien mengerti dan dapat meneruskan terafi itu dengan benar dan tanpa
pengawasan. Ini terutama penting untuk penyakit-penyakit menahun. Menurut
Tambayong,2002 terdapat lima faktor ketidak patuhan terhadap pengobatan yaitu
kurang pahamnya pasien tentang tujuan pengobatan tersebut, tidak mengertinya
tentang pentingnya mengikuti aturan pengobatan yang ditetapkan sehubungan dengan
prognosisnya, sukarnya memperoleh obat luar rumah sakit, mahalnya harga obat,
dan kurangnya perhatian dan kepedulian keluarga yang mungkin bertanggung jawab
atas pembelian atau pemberian obat itu kepada pasien.
Menurut
Siregar,2006 yang dimaksud dengan kepatuhan dalam pengobatan adalah mengkonsumsi
obat-obatan yang diresepkan pada waktu dan dosis yang tepat. Kepatuhan dapat
didefinisikan sebagai tingkat ketepatan perilaku seorang individu dengan
nasihat media atau kesehatan, pasien yang berpengetahuan tentang obatnya
menunjukan ketaatan yang meningkat terhadap regimen obat yang ditulis sehingga
menghasilkan hasil terapi yang meningkat.
Terdapat
jenis kepatuhan, akibat dari ketidakpatuhan dan peningkatan kepatuhan pada
penggunaan obat, antara lain:
1.
Jenis ketidakpatuhan
Pengobatan
akan efektif apabila mematuhi aturan dalam engobatan, menurut Siregar (2006)
adapun bebrapa jenis ketidak patuhan yang terjadi adalah disebabkan oleh
sebagai berikut:
a.
Ketidakpatuhan pada minum obat, mencakup
kegagalan menebus resep, melalaikan dosis, kesalahan dosis, kesalahan dalam
waktu pemberian/ konsumsi obat, dan penghentian obat sebelum waktunya.
b.
Tidak menebus resep obatnya, yaitu
karena pasien/keluarga pasien tidak merasa memerlukan obat atau tidak menghendaki
mengambilnya. Ada juga pasien yang tidak menebus resepnya karena tidak mampu
membelinya.
c.
Kesalahan pada waktu konsumsi obat,
yaitu dapat mencakup situasi yang obatnya dikonsumsi tidak tepat dikaitkan
dengan waktu makan. Cotohnya 1 jam sebelum makan dan 2 jam sesudah makan.
d.
Penghentian pemberian obat sebelum
waktunya, pasien harus diberitahu pentingnya penggunaan obat antibiotik yang
dikonsumsi sampai habis selama terapi.
e.
Pemberian obat kurang dari dosis yang
tertulis dan penghentian obat sebelum waktunya, faktor lain yaitu ketidak
patuhan mencakup pengetiketan yang tidak benar dan penggunaan”sendok teh” yang
mempuyai berbagai volume yang berbeda.
f.
Pasien rawat jalan yang tidak patuh
karena tidak mengerti intruksi penggunaan dengan benar dan ada yang salah
menginterpretasikan, selain itu kemugkinan ketidak patuhan pasien rawat jalan
karena kurangnya pengawasan terafi.
2.
Akibat ketidakpatuhan
Ketidak
patuhan akan mengakibatkan penggunaan suatu obat yang kurang. Dengan cara
demikian, pasien kehilangan manfaat terafi yang diantisipasi dan kemungkinan
mangakibatkan kondisi yang diobati secara bertahap menjadi buruk.
Seorang
pasien menghentikan penggunaan antibiotik untuk pengobatan suatu infeksi
apabila gejala telah mereda, dan karenanya tidak menggunakan semua obat yang
ditulis, hal ini menyebabkan kembali kekambuhan, penyakit kambuh lagi karena
diakibatkan oleh ketidak patuhan dari pada disebabkan timbulnya resisten
terhadap obat.
3.
Peningkatan kepatuhan
Dalam
meningkatkan kepatuhan komunikasi merupakan cara antara tim medis dan pasien
dalam berbicara mengenai obat yang ditulis. Keefektifan komunikasi akan terjadi
penentu utama kepatuhan pasien.
Dibawah ini merupakan peranan dalam
menghadapi masalah ketidak patuhan yaitu:
a.
Mengidentifikasi faktor resiko yaitu mengenai
individu yang mungkin tidak patuh, sebagai mana diduga oleh suatu pertimbangan
berbagai resiko yang perlu diperhitungkan dalam merencanakan terafi pasien,
agar regimen sejauh mungkin kompatibel dengan kegiatan normal pasien.
b.
Pengembangan rencana pengobatan harus
didasarkan pada kebutuhan pasien, apabila mungkin pasien harus menjadi
partisipan dalam kepatuhan pemberian regimen terafi. Untuk membantu ketidak
nyamanan dan kelalaian, regimen harus disesuaikan agar dosis yang diberikan
pada waktu yang sesuai dengan jadwal pasien.
c.
Alat bantu kepatuhan yang meliputi
pemberian label dan kalender pengobatan dan kartu pengingat obat sehingga
pasien mengerti tentang penggunaan dalam membantu pasien mengerti obat yang
digunakan, kapan digunakan, dan mengenai dosis obat yang digunakan.
3.
Konsep Skizofrenia
Gangguan jiwa adalah suatu penyakit yang mempenagaruhi otak dan
menyebabkan timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan dan perilaku yang aneh
dan terganggu (Videbeck,2008). Skizofrenia merupakan bentuk gangguan psikotik
(penyakit mental berat) yang relatif sering. Prevalensi seumur hidup hampir
mencapai 1%, insiden tiap tahunnya sekitar 10-15 per 100.000 dan skizofrenia
merupakan sindrom dengan berbagai presentasi dan satu variabel, perjalanan
penyakit umumnya jangka panjang, serta sering mengalami kekambuhan (Davies,
2009). Menurut world health organitation
(WHO) prevalensi masalah kesehatan jiwa saat ini cukup tinggi 25% dari penduduk
dunia pernah menderita maslah kesehatan jiwa, 1% diantaranya adalah gangguan
jiwa berat, potensi seseorang mudah terserang gangguan jiwa memang tinggi,
saraf maupun prilaku.
Sigmund freud berpendapat bahwa psikologi sebenarnya adalah tidak
cukup dengan menyelidiki kesadaran saja, sebab yang lebih penting dan
berpengaruh besar dalam kehidupan jiwa manusia adalah ketidaksadaran. kesadaran
memang perlu juga diselidiki akan tetapi ketidaksadaran yang mengemudikan
kehidupan manusia sehari-hari. Struktur jiwa menurut Carl Gustav Jung bahwa
jiwa terdiri dari atas dua lapangan yang berhadapan dan saling melengkapi yaitu
kesadaran dan ketidaksadaran. Kesadaran berfungsi menyesuaikan diri dengan
lingkungan, ketidaksadaran berfungsi menyesuaikan diri dengan dunia dalam
(Purwanto,2012).
Menurut Undang-Undang tentang Kesehatan nomor 36 tahun 2009 pasal 1
ayat 1 menjelaskan definisi kesehatan yaitu kesejahteraan dari badan, jiwa dan
sosial yang memungkinkan setiap orang produktif secara sosialdan ekonomi. Tetapi
dalam dekade yang lalu semakin banyak penelitian telah melibatkan peranan patofisiologis
untuk daerah tertentu di otak, termasuk sistem limbic, korteks prontal, dan
gangglia basalis. Ketiga daerah tersebut salaing berhubungan sehingga disfungsi
pada salah satu daerah mungkin melibatkan patologi primer lainnya (Kaplan &
Sadock,2010).
Kriteria
umum untuk mendiagnosa gangguan jiwa meliputi ketidakpuasan dengan
karakteristik, kemampuan dan prestasi diri; hubungan yang tidak efektif atau
tidak memuaskan; tidak puas hidup didunia; atau koping yang tidak efektif
terhadap peristiwa kehidupan dan tidak terjadi pertumbuhan personal. Selain itu
perlikau individu yang tidak diharapkan atau dikenakan sangsi secara budaya
bukan perilaku yang menyimpang, yang menjadi indikasi suatu gangguan jiwa
(DSM-IV,1994 dalam Videbeck,2010).
Faktor
yang menyebabkan gangguan jiwa juga dapat dipandang dalam tiga kategori. Faktor
individual meliputi struktur biologis, ansietas, kekhawatiran dan ketakutan,
ketidak harmonisan dalam hidup dan kehilangan arti hidup (Seawerd, 1997).
Faktor interpersonal meliputi komunikasi yang tidak efektif, ketergantungan
yang berlebihan atau menarik diri hubungan dan kehilangan kontrol emosional.
Faktor budaya dan sosial meliputi tidak ada penghasilan, kekerasan, tidak
memiliki tempat tinggal (tunawisma), kemiskinan dan diskriminasi seperti
pembedaan ras, golongan, usia dan jenis kelamin, (Videbeck,2008).
Bentuk
gangguan proses berfikir adalah penyimpangan dari pikiran rasional, logis dan
bertujuan. Pikiran austik ditujukan oleh adanya fantasi-fantasi dibawah alam
sadar yang berhubungan dengan penarikan diri penarikan diri secara sosial.
Tidak dapat dikoreksi berdasarkan realita seperti halnya pikiran normal.
Pikiran yang terhalang terlihat pada proses pembicaraan yang tiba-tiba
terhenti. Gangguan asosiasi yang mengarah pada tidak adanya kesinambungan arus
pembicaraan. Pembicaraan yang meningkat dan sukar dipotong. Ide yang
melompat-lompat sangat cepat, melompat dari satu subyek ke subyek lainnya yang
longgar ikatannya serta menyimpang dalam respon terhadap rangsangan lingkungan.
Pembicaraan yang melompat-lompat seperti pada depresi, munkin merupakan bagian
dari gambaran umum retardasi psikomotor. Menolak pembicaraan baik karena alasan
yang disadari maupun tidak disadari (Purwanto, 2012).
Skizofrenia
adalah suatu penyakit yang mempengaruhi otak dan menyebabkan timbulnya pikiran
, persepsi, emosi, gerakan, dan perilaku yang aneh dan terganggu. Skizofrenia
tidak dapat didefinisikan sebagi penyakit tersendiri, melainkan suatu sindrom
atau suatu proses penyakit yang mencakup banyak jenis dengan berbagai gejala
seperti jenis kanker. Selam berpuluh-puluh tahun, skizofrenia sering disalah
artikan oleh masyarakat. Penyakit ini ditakuti sebagai gangguan jiwa yang
berbahaya dan tidak dapat terkontrol, dan mereka yang terdiagnosa penyakit ini
digambarkan sebagai individu yang tidak mengalami masalah emosional atau
psikologis yang terkendali dan memperlihatkan perilaku yang aneh dan amarah.
Kebanyakan individu yakin bahwa skizofrenia perlu diasingkan dan dikirim ke
institusi. Hanya baru-baru ini saja, komunikasi kesehatan jiwa menyadari untuk
belajar dan memberikan penyuluhan kepada masyarakat skizofrenia adalah gangguan
jiwa yang memiliki berbagai tanda dan gejala dan skizofrenia merupakan penyakit
yang dapat dikendalikan dikendalikan dengan obat.
Gejala
skizofrenia dibagi dalam dua katagori utama: gejala positif atau gejala utama,
yang mencakup waham, halusinasi, dan disorganisasi pikiran, bicara, dan prilau
yang tidak teratur, serta gejala negatif atau gejala samar, seperti afek datar,
tidak memiliki kemauan, dan menarik diri dari masyarakat atau rasa tidak
nyaman. Gejala positif dapat dapat terkontrol dengan pengobatan, tetapi gejala
negatif seringkali menetap sepanjang waktu dan menjadi penghambat utama
pemulihan dan perbaikan fungsi dalam kehidupan sehari-hari klien, (Videbeck,2008).
1. Tanda dan gejala
Berikut tanda tipe
skizoprenia dari DSM-IV-TR 2000. Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala yang
dominan:
a. Type
paranoid
Ditandai dengan waham
kejar (rasa menjadi korban atau dimat-matai) atau waham kebesaran, halusinasi,
dan kadang-kadang keagamaan yang berlebihan (fokus waham agama), atau perilaku
agresif dan bermusuhan.
b. Type
tidak terorganisir
Ditandai dengan afek
datar atau afek yang tidak sesuai secara nyata, inkoherensi, asosiasi longgar,
dan disorganisasi perilaku yang ekstrim.
c. Type
katatonik
Ditandai dengan
gangguan psikomotor yang nyata, baik dalam bentuk tanpa gerakan atau aktifitas
motorik yang berlebihan, negativisme yang ekstrim, mutisme, gerakan volunter
yang aneh, ekolalia atau ekopraksia. Imobilitas
motorik dapat terlihat berupa katalepsi (flexibilitas cerea) atau stupor.
Aktifitas motorik yag berlebihan terlihat tanpa tujuan dan tidak dipengaruhi
oleh stimulus ekternal.
d. Type
tidak dapat dibedakan
Ditandai dengan,
gejala-gejala skizofrenia campuran (type lain) disertai gangguan pikiran, afek,
dan prilaku.
e. Type
residual
Ditandai dengan setidaknya satu
episode skizofrenia sebelumnya, tetapi saat ini tidak psikotik, menarik diri
dari masyarakat, afek datar, serta sosiasi longggar,(Videbeck, 2008).
Menurut
Townsend, 2010 Sindrom yang berkaitan dengan skizofrenia dan gangguan psikotik
lain menunjukan perubahan dalam isi dan organisasi pikiran, persepsi input
sensori, afek atau irama emosi, rasa identitas, kemauan, prilaku psikomotor, dan
kemampuan membina hubungan interpersonal yang memuaskan. Townsend juga
mengkatagorikan beberapa jenis gangguan psikotik lain, yaitu:
a. Skizofrenia
paranoid
Skizofrenia paranoid
ditandai dengan kecurigaan ekstrim terhadap orang lain dan dengan halusinasi serta
waham curiga(paranoia) dan waham kebesaran. Individu sering kali tegang dan
bersikap hati-hati serta argumentatif, kasar, dan agresif.
b. Skizofrenia
heberfrenik
Pada skizofrenia
heberfrenik, prilaku biasanya regresif dan primitif. Afek tidak sesuai, dengan
karakteristik wajah dung, cekikan yang tidak pada tempatnya, wajah menyeringai,
dan menarik diri total. Komunikasi selalu inkoheren.
c. Skizofrenia
katatonik
Skizofrenia katatonik
dimanifestasikan dalam bentuk stufor (retardasi) psikomotor, mutisme, waxy
flexibility(posturing), negativisme, dan rigiditas atau kegaduhan (agitasi
psikomotor ekstrim, mengakibatkan kelebihan atau kecendrungan mencedrai diri
sendiri atau orang lain bila tidak dihentikan).
d. Skizofrenia
tak terinci
Jenis skizofrenia ini
ditandai dengan prilaku tidak terarah dan gejala psikosis (mis., waham,
halusinasi, inkoheren, perilaku tak terarah yang tampak jelas) yang dapat
muncul lebih dari satu kategori skizofrenia.
e. Skizofrenia
residual
Perilaku pada
skizofrenia residual adalah eksentrik, tetapi gejala psikosis jika ada tidak
menonjol. Menarik diri dan afek yang tidak sesuai merupakan tand akhas gangguan
ini. Pasien mempunyai riwayat paling tidak satu episode skizofrenia dengan
gejala psikosis menonjol.
f. Gangguan
skizoafektif
Gangguan skiafektif
menunjukan perilaku khas skizofrenia, disamping perilaku yang mengidikasikan
gangguan alam perasaan, seperti defresi atau mania.
g. Gangguan
psikotik singkat
Gambaran utama gangguan
psikotik singkat meliputi awitan gejala psikosis yang tiba-tiba sebagai respon
terhadap tekanan psikososial berat. Gejalanya berlangsung sedikitnya satu hari,
tetapi kurang dari satu bulan dan individu dapat kembali ketingkat fungsi yang
dimiliki sebelum sakit. Diagnosis lebih didasarkan pada apakah gangguan ini
timbul setelah terdapat tekanan berat atau apakah awitan terjadi dalam empat
minggu pascapartum.
h. Gangguan
skozofreniform
Gambaran utama gangguan
skizofreniform identik dengan gambaran skizofrenia, kecuali durasinya, yaitu
paling tidak satu bulan, tetapi kurang dari enam bulan.
i.
Gangguan waham
Gangguan waham ditandai
dengan adanya satu atau lebih waham nonbizar yang menetap selam paling tidak
satu bulan. Aktivitas halusinasi tidak menonjol, selain waham, perilaku tidak
bizar.
2.
Etiologi.
Penelitian
ilmiah terbaru mulai menunjukan bahwa skizofrenia adalah suatu type disfungsi
otak. Pada tahun 1970-an, peneliti mulai berfokus pada sebab-sebab neurokimia
yang mungkin, dan hal ini masih menjadi
fokus utama penelitian dan teori saat ini. Teori neurokimia/neurologis didukung
oleh efek antipsikotik yang membantu mengontrol gejala psikotik dan alat
pencitraan saraf seperti computed tomography
(CT) yang menunjukan bahwa struktur dan fungsi otak individu yang mengalami
skizofrenia berbeda (Gur & Gur,2000 dalam, Videbeck,2008)
Teori
biologi skizofrenia berfokus genetik, faktor neuroanatomi dan neurkimia
(struktur dan fungsi otak), serta imonovirologi (respon tubuh terhadap pejanan
suatu vitus)
a.
Faktor Genetik
Penelitian
klasik awal tentang genetik dari skizofrenia, dilakukan di tahun 1930-an,
menemukan bahwa seseorang kemungkinan menderita skizofrenia jika anggota
keluarga lainnya juga menderita skizofrenia adalah berhubungan dekatnya
persaudaraan tersebut. Kembar monozigotik memiliki angka kesesuaian yang
tinggi. Penelitian pada kembar zigotik yang diadopsi menunjukan bahwa kembar
yang diasuh orang tua angkat mempunyai skizofrenia dengan kemungkinan yang
samabesarnya seperti saudara kembarnya yang dibesarkan oleh saudara kandungnya
(Kaplan&Sadock,2012)
Menurut
Durand (2007), Faktor genetik skizofrenia adalah sejumlah faktor kausatif
terimplikasikan untuk skizofrenia, termasuk pengaruh genetik, ketidak
seimbangan neurotransmiter, kerusakan struktural otak yang disebabkan oleh infeksi
virus prenatal atau kecelakaan dalam proses persalinan dan stressor psikologis.
Penting untuk mempelajari seberapa banyak stress macam apa yang membuat
seseorang memiliki predisposisi skizofrenia mengembangkan gangguan stress.
Stressor (tekanan yang mengakibatkan stress) dari orang-orang sekitar juga
faktor penting yang tidak dapat dilupakan. Skizofrenia melibatkan lebih dari
satu gen, sebuah fenomena yang disebut quantitative trait loci. Skizofrenia
yang palin sering kita lihat mungkin disebabkan oleh bebrapa gen yang berlokasi
ditempat-tempat yang berbeda diseluruh kromosom. Ini juga mengklarifikasi
mengapa ada gradasi tingkat keparahan pada orang-orang yang mengalami gangguan
ini (dari ringan sampai berat) dan mengapa resiko untuk mengalami skizofrenia
semakin tinggi dengan semakin banyak jumlah keluarga yang memiliki penyakit
ini.
Kallman dalam Durand,
2007, menunjukan bahwa tingkat keparahan gangguan orang tua mempengaruhi
kemungkinan anaknya untuk mengalami skizofrenia. Semakin parah skizofrenia orang
tuanya, semakin besar kemungkinan anak-anaknya utnuk mengembangkan
gangguan yang sama. Memilki keluarga
yang mengalami skizofrenia juga membuat seseorang memiliki kemungkinan lebih
besar untuk memilki gangguan yang sama di banding seseorang dalam populasi
secara umum yang tidak memiliki keluarga semacam itu.
b.
Faktor neuroanatomi dan neurokimia
Dengan
perkembangan teknik pencitraan noninvasif, seperti CT scan, Magnetic Resonance Imaging (MRI), dan Positron Emission Tomography (PET) dalam
25 tahun terakhir, para ilmuan mampu meneliti struktur otak (neuroanatomi) dan
aktifitas otak (neurokimia) individu penderita skizofrenia. Peneliti menunjukan
bahwa individu penderita skizofrenia memiliki jaringan otak yang relatif lebih
sedikit, hal ini dapt memperliahatkan suatu kegagalan perkembangan atau
kehilangan jaringan selanjutnya. CT scan menunjukan pembesaran ventrikel otak
dan atrofi korteks otak. Penelitian PET menunjukan bahwa ada penurunan oksigen
dan metabolisme glukosa pada struktur korteks frontal otak. Riset secara
konsisiten menunjukan bahwa penurunan volume otak dan fungsi otak yang abnormal
pada area temporal dan frontal individu penderita skizofrenia. Patologi ini
berkorelasi dengantanda-tanda dengan tanda-tanda positif skizofrenia (lobus
temporalis) seperti psikosis, dan tanda-tanda negatif (lubus frontalisa)
seperti tidak memiliki kemauan atau motifasi dan anhedonia. Tidak diketahui
apakah perubahan pada lobus temporalis dan frontalis ini terjadi akibat
kegagalan kedua area tersebut untuk berkembang dengan baik atau apakah area
tersebut megalami kerusakan akibat virus, trauma, atau respon imun. Pengaruh
intra uterin seperti gizi buruk, tembakau, alkohol, dan obat-obatan lain, serta
stres juga sedang diteliti sebagai kemungkinan penyebab patologis yang ditemukan
pada otak individu penderita skizofrenia(Buchanan & Carpenter,2000 dalam
Videbeck,2008).
c.
Faktor imunovirologi
Ada
teori populer yang mengatakan bahwa perubahan patologi otak pada individu
penderita skizofrenia dapat disebabkan oleh pejanan virus, ataurespon imun
tubuh terhadap virus dapat mengubah fisiologi otak. Walaupu ilmuwan terus
meneliti hal ini, tidak banyak peneliti mampu memvalidasi teori tersebut(Egan
& Hyde,2000 dalam Videbeck). Baru-baru ini para peneliti memfokuskan
infeksi pada ibu hamil sebagai kemungkinan penyebab awal skizofrenia. Epidemik
flu diikuti dengan peningkatan kejadian skizofrenia di Inggris, Wales, Denmark,
Finlandia dan negara-negara lain. Suatu penelitian terkini yang diterbitkan di New England journal of Medicine melaporkan
angka skizofrenia lebih tinggi dari anak-anak yang lahir didaerah padat dengan
cuaca dingin, kondisi yang memungkinkan terjadinya gangguan pernafasan (Mortensen
et al.,1999 dalam Videbeck, 2008)
d.
Faktor Psikososial
Salah
satu faktor yang menyebabkan seseorang mengalami gangguan jiwa adalah adanya
stressor psikososial. Stressor psikososial adalah setiap keadaan atau peristiwa
yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang (anak, remaja, atau
dewasa) sehingga orang itu terpaksa mengadakan adaptasi dan mampu
menanggulanginya, sehingga timbullah keluhan-keluhan dibidang kejiwaan berupa
gangguan jiwa dari yang ringan hingga berat (Hawari,2001).
BAB III
KERANGKA KERJA PENELITIAN
Pada bab ini akan diuraikan
tentang kerangka konsep, hipotesis dan definisi operasional yang memberi arah
pada pelaksanaan penelitian dan analisa data.
A.
Kerangka Konsep
Berdasarkan teori yang sudah digambarkan pada tinjauan pustaka,
yang termasuk variabel independen pengetahuan dan dukungan keluarga serta
variabel dependen kepatuhan minum obat. Berdasarkan pertimbangan diatas maka
dibuat kerangka konsep pada penelitian ini dapat di gambarkan sebagai berikut :
Gambar
3.1
Kerangka
konsep
PENGETAHUAN
KELUARGA
|
Kepatuhan
Minum Obat
|
DUKUNGAN
KELUARGA
|
B.
Hipotesis
Hipotesis
dalam penelitian ini adalah:
1.
Ada hubungan antara
pengetahuan keluarga terhadap kepatuhan minum obat pada pasien skizopren di
Poliklinik Psikiatri RSUD Karawang.
2.
Ada hubungan antara dukungan
keluarga terhadap kepatuhan minum obat pada pasien skizopren di Poliklinik
Psikiatri RSUD Karawang.
C.
Definisi Oprasional
Definisi oprasional adalah mendefinisikan variabel secara
oprasional dan berdasarkan karakteristik yang diamati, sehingga memungkinkan
peneliti untuk melakukan observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu
objek atau fenomena (Nursalam,2008).
No
|
Variabel
|
Definisi operasional
|
Alat ukur
|
Hasil ukuran
|
Skala ukur
|
|
Dependen
|
|
|
|
|
1
|
Kepatuhan minum obat
|
Sikap atau respon responden terhadap :
1. keteraturan
minum obat
2. meminum
obat sesuai dengan dosis
|
Kuesioner
10 pertanyaan
|
1. Patuh
bila respon minum obat secara teratur
sesuai dosis
0. Tidak patuh
bila respon minum obat tidak secara teratur dan tidak sesuai dosis
|
Ordinal
|
2
|
Independen
Pengetahuan
|
Suatu
pemahan responden terhadap pemberian obat dengan:
1.
Benar pasien
2.
Benar obat
3.
Benar dosis
4.
Benar cara
5.
Benar waktu
6.
Benar
7.
dokumentasi
|
Kuesioner
10
prtanyaan
|
1.
Baik jika skor > median
0.
Kurang baik paham jika skor < median
|
Ordinal
|
3
|
Independen
Dukungan
Keluarga
|
Suport
system dari anggota keluarga terhadap pasien
|
Kuesioner
13
pertanyaan
|
1.
Baik jika nilai > median
0.
Kurang baik jika < median
|
Nominal
|
Pak, mau tanya,
BalasHapusApa bpk punya buku "peran serta keluarga dlm perawatan pasien gangguan jiwa"
Penulis budi anna keliat